Saturday, January 18, 2014

Makalah - SEJARAH DAN PROSES PERUMUSAN KHI


SEJARAH DAN PROSES PERUMUSAN KHI



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum Islam adalah hukum yang dibangun berdasarkan pemahaman manusia atas nash al-Qur’an maupun As-Sunnah untuk mengatur kehidupan manusia yang berlaku secara universal-relevan pada setiap zaman (waktu) dan Makan (ruang) manusia. Keuniversalan hukum Islam ini sebagai kelanjutan langsung dari hakekat Islam sebagai agama universal, yakni agama yang substansi-substansi ajaran-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu manusia, melainkan berlaku bagi semua orang Islam di mana pun, kapan pun, dan kebangsaan apapun.
Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim pengadilan agama berpedoman kepada kitab fikih yang berasal dari madzhab Syafi'i, yang penggunaannya dapat dipastikan tergantung pada kemampuan hakim-hakim pengadilan agama yang bersangkutan dalam memahami secara utuh dan menyeluruh kitab-kitab fikih tersebut. Dampaknya tidak menutup kemungkinan timbul suatu putusan yang berbeda-beda, walaupun perkara-perkara yang diajukan kepadanya sama. Untuk itu, sudah seyogianya kita memiliki pula hukum materiil berupa hukum islam yang berbentuk kodifikasi yang nantinya dijadikan landasan bersama dalam mengadili, sehingga tidak akan menimbulkan disparitas (perbedaan) putusan lagi.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, masalah yang akan kami paparkan adalah sebagai berikut:
1.      Sejarah Terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2.      Proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI).


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Sejarah Terbentuknya Kompilasi Hukum Indonesia
1.    Sejarah
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkan 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.[1]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[2]
2.    Pengertian dan Tujuan Kompilasi Hukum Islam
a.    Pengertian Kompilasi Hukum Islam
Istilah kompilasi berasal dari bahasa Latin Compilare yang masuk ke dalam bahasa Belanda dengan sebutan compilatie, yang dalam bahasa inggrisnya disebut compilation. Secara harfiah berarti kumpulan dari berbagai karangan atau karangan yang tersusun dari kutipan-kutipan buku lain.
Bustanul Arifin menyebut Kompilasi Hukum Islam sebagai "fikih dalam bahasa Undang-Undang atau dalam bahasa rumpun Melayu disebut peng-Qanun-an hukum syara`". Wahyu Widhiana menyatakan bahwa "Kompilasi Hukum Islam adalah sekumpulan materi Hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari 3 kelompok materi hukum, yaitu Hukum Perkawinan (170 pasal), Hukum Kewarisan -termasuk wasiat dan hibah- (44 pasal), dan Hukum Perwakafan (14 pasal), ditambah satu pasal Ketentuan Penutup yang berlaku untuk ketiga kelompok hukum tersebut.
Secara materi, Kompilasi Hukum Islam itu adalah ketentuan hukum Islam yang ditulis dan disusun secara sistematis menyerupai peraturan perundang-undangan untuk sedapat mungkin diterapkan seluruh instansi Departemen Agama dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang yang telah diatur Kompilasi Hukum Islam. Oleh para hakim peradilan agama Kompilasi Hukum Islam digunakan sebagai pedoman dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang diajukan kepada-Nya.


b.    Tujuan Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Upaya mempositifkan hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai:
1)      Melengkapi pilar Peradilan Agama
2)      Menyamakan persepsi penerapan hukum
3)      Mempercepat proses Taqribi baina al-Madzahib

B.       Proses Perumusan Kompilasi Hukum Islam
Untuk melihat gambaran umum hukum islam sebagai bagian hukum nasional, dengan mengikuti proses perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Untuk mendeskripsikan proses perumusan kompilasi hukum Islam, tidak terlepas pada latar belakang Kompilasi Hukum Islam, Landasan Yuridis dan Landasan Fungsional.
1.    Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam
Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fikih sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Peradilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama.
Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.
Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh  dengan Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.
Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama.[3]
Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Kenyataan-kenyataan ini mengharuskan dibentuknya sebuah unifikasi hukum Islam yang akhirnya berhasil disahkan pada tahun 1991, yakni Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan oleh Inpres No. 1 tahun 1991.
2.    Landasan Yuridis
Landasan yuridis mengenai perlunya hakim memperhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 28 ayat 1 yang berbunyi: ” Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selain itu, Fikih Islam mengungkapkan kaidah:” Hukum Islam dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan”. Keadaan masyarakat itu selalu berkembang, karenanya pelaksanaan hukum menggunakan metode yang sangat memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode itu ialah maslahat mursalah, istihsan, istishab, dan urf.[4]
3.    Landasan fungsional.
Kompilasi Hukum Islam adalah fikih Indonesia karena ia disusun dengan memperhatikan kondisi kebutuhan hukum umat Islam Indonesia. Fikih Indonesia dimaksud adalah fikih yang telah dicetuskan oleh Hazairin dan T.M. Hasbi Ash-Shiddiqi. Fikih sebelumnya mempunyai tipe fikih lokal semacam fikih Hijazy, fikih Mishry, fikih Hindy, fikih lain-lain yang sangat mempehatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ia mengarah kepada unifikasi mazhab dalam hukum islam. Oleh karena itu, di dalam sistem hukum di Indonesia ini merupakan bentuk terdekat dengan kodifikasi hukum yang menjadi arah pembangunan hukum nasional di Indonesia.[5]


C.      Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Hukum berfungsi sebagai alat untuk mengubah masyarakat yang disebut oleh Roscoe Pound ” a Tool of social enginering” Dalam konteks dinamika Kompilasi Hukum Islam diperlukan Institusi (organisasi) untuk menjalankan dan melakukan pengawasan dalam penerapannya di masyarakat.
a.    Peradilan dan hakim-hakim agama
Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama, maka dalam menghadapi kompilasi hukum islam sebagai ketentuan hukum material yang harus dijalankan tidak hanya berfungsi sebagai "mulut dari kompilasi" akan tetapi dituntut untuk lebih meningkatkan perannya dalam berijtihad menemukanhukum melalui perkara-perkara yang ditanganimya.[6]
b.    Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Ulama indonesia (MUI) lebih meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat dalam rangka penetapan hukum dalam masyarakat indonesia yang sedang membangun. Visi MUI adalah terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah swt menuju masyarakat berkualitas demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam.[7]
c.    Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
Peranan dari lambaga-lembaga hukum dan fatwa yang kita temui pada berbagai organisasi islam yang ada di Indonesia seperti Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama dan lain-lain perlu lebih ditingkatkan dalam rangka mendukung dalam penetapan hukum islam.

d.   Lembaga pendidikan tinggi.
Kegiatan penelitaian di bidang Hukum Islam harus lebih digalakkan. Lembaga pendidikan sebagai media intelektual untuk mengawal dan selalu mengkritisi atas berjalannya Kompilasi Hukum Islam. Perguruan Tinggi Islam khususnya diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan Kompilasi Hukum Islam.
e.    Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah
Lembaga- lembaga penelitian dan pengkajian dari pemerintah, semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama dan lain sebagainya sudah seharusnya melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalah-masalah hukum islam yang berskala nasional.
f.     Media massa
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk menjebatani komunikasi ilmiah dari berbagai pihak yang terlibat dalam pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum islam. Media selain untuk sosialisasi tetapi juga berperan sebagai kontrol terhadap berjalannya penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.[8]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.  Gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
a.    Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
b.    Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah.
c.    Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan.
2.  Institusi (organisasi) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Organisasi yang ikut dalam pembentukan KHI adalah:
a.    Peradilan dan hakim-hakim agama
b.    Majelis Ulama Indonesia (MUI)
c.    Lembaga-lembaga hukum dan fatwa dari organisasi islam
d.   Lembaga pendidikan tinggi.
e.    Media massa
f. Lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian pemerintah








[1] aafandia.wordpress.com/2009/05/20/instruksi-presiden-ri-nomor-1-tahun-1991-tentang-kompilasi-hukum-islam/
[2] http://el-ghozali-hasanah.blogspot.com/2011/04/sejarah-terbentuknya-kompilasi-hukum-islam.html
[3] Zainuddin Ali, Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 98
[4] Ibid., hlm. 100.
[5] Ibid.
[6] Zainudin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 38.
[7] Mahfud, Moh.MD.Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia (Yogyakarta: Gama Media, 1999) hlm. 259.
[8] Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 1992), hlm 7


Saturday, January 11, 2014

Makalah Hukum Perdata


HUKUM BENDA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Adalah salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki  subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik.
Hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana).
Hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Terjadinya hubungan hukum antara pihak-pihak menunjukkan adanya subyek sebagai pelaku dan benda yang dipermasalahkan oleh para pihak sebagai obyek hukum. Disini kami mempersempit pembahasan hanya mencakup hukum benda dan hak-hak kebendaan.
B.     Rumusan Masalah
Adapun masalah-masalah yang dikembangkan penulis dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Hukum benda
2.      Hak kebendaan









BAB II
PEMBAHASAN

A.      Hukum Benda
1.         Pengertian
Zakenrecht (hukum benda) adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dan hak kebendaan. Kaidah hukum benda dibedakan menjadi dua macam: (1) hukum benda tertulis; (2) hukum benda tidak tertulis. Hukum benda tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat didalam peraturan perundang-undangan, traktaat dan yurisprudensi. Sedangkan hukum benda tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dan hidup dalam praktek kehidupan masyarakat dan bentuknya tidak tertulis (kebiasaan).[1]
Ruang lingkup kajian hukum benda meliputi dua hal sebagai berikut:
1)        Mengatur hubungan antara subjek hukum dengan benda. Benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum.
2)        Mengatur hubungan antara subjek hukum dengan hak kebendaan. Hak kebendaan adalah kewenangan untuk menguasai benda.
Hak kebendaan dapat dibedakan menjadi dua macam: (1) hak menikmati, (2) hak penuh maupun terbatas, seperti hak atas pengabdian pekarangan. Hak jaminan adalah member kepada kreditor hak dilakukan untuk mengambil pelunasan jaminan. Hak menikmati adalah hak dari subjek hukum untuk menikmati suatu benda secara dari hasil penjualan barang yang dibebani, seperti gadai, hipotek, crediet verband, dan atau hak tanggungan atas tanah.


2.         Sistem Pengaturan Hukum Benda
Dari kajian berbagai literatur tentang hukum perdata, dapat dilihat bahwa sistem pengaturan hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Sistem tertutup (closed system) yaitu orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru, selain yang telah ditetapkan dalam UU,  2. Sistem terbuka (open system) yaitu bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam KUH perdata, maupun yang tidak tercantum di dalam KUH perdata. Jenis perjanjian yang dikenal didalam KUH perdata seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pinjam meminjam uang, perjanjian kerja, kongsi dan pemberian kuasa. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian nominaat yang dikenal dan di atur di dalam KUH perdata. Perjanjian yang tidak diatur dalam KUH perdata seperti leasing, beli sewa, kontrak rahim, dll. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yaitu perjanjian yang tidak diatur di dalam KUH perdata, tetapi dikenal didalam praktek.[2]
Hukum benda diatur dalam buku II KUH Perdata dan Undang-undang No. 5 tahun 1960 (undang-undang pokok Agraria /UUPA) kuhusus mengatur tentang tanah.
3.         Macam-macam Benda
Benda dalam arti sempit ialah setiap barang yang dapat diihat saja (berwujud), sedangkan dalam arti luas: disebut dalam Pasal 509 KUH. Perdata yaitu benda ialah tiap barang-barang dan hak-hak yamg dapat dikuasai dengan hak milik. Benda dapat dibedakan menjadi berbagai macam benda:
a.    Benda berwujud dan benda tidak berwujud
Benda berwujud (material) yaitu benda yang nyata dapat dilihat. Sedangkan Benda yang tidak berwujud (immaterial) yaitu berupa hak-hak, misalnya: hak piutang, hak cipta, hak pengarang dsb.
b.    benda bergerak dan benda tidak bergerak
Benda bergerak adalah benda yang menurut sifatnya dapat dipindahkan. Sedangkan Benda tidak bergerak adalah benda yang menurut sifatnya tidak dapat dipindah-pindahkan, seperti tanah dan segala bangunan yang berdiri melekat diatasnya.

c.    Benda habis dipakai dan benda tidak habis dipakai
Benda yang habis dalam pemakaian, bila mana karena dipakai menjadi habis, misalnya bahan makanan, bahan bakar dsb.
Sedangkan Benda yang tidak habis dalam pemakaian (on vervruik baar) benda yang wujudnya tidak akan habis meskipun telah dipakai seperti mesin-mesin, meja, dsb.
d.   Benda sudah ada dan benda akan ada
Benda yang ada sekarang (tegen woordige) yaitu benda yang ada pada saat ini. Benda yang akan datang (toekomstige) misalnya keuntungan yang akan diperoleh, panen, anak lembu yang akan lahir dsb.
e.    Benda dalam perdagangan dan benda luar perdagangan
Benda dalam perdagangan (in handel / incommercio) yaitu setiap benda yang dapat diperdagangakan. Benda luar perdagangan (buiten de handel / extra commercio) seperti kantor-kantor pemerintah, rumah sakit dsb.
f.     Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi
benda yang dapat dibagi (deelbaar) yaitu benda yang dapat dibagi tanpa kehilangan sifat atau turun nilainya misalnya tanah. Benda yang tidak dapat dibagi (on deelbaar) oleh karena akibat pembagian itu sifat benda itu menjadi hilang dan merosot nilainya.
g.    Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar
Benda terdaftar dibuktikan dengan bukti pendaftarannya, umumnya berupa sertifikat / dokumen atas nama si pemilik, seperti tanah, kendaraan bermotor, perusahaan, hak cipta, telpon, televisi dlsb. Benda tidak terdaftar sulit untuk mengetahui dengan pasti siapa pemilik yang sah atas benda itu, karena berlaku azas ‘siapa yang menguasai benda itu dianggap sebagai pemiliknya’. Contohnya, perhiasan, alat alat rumah tangga, hewan piaraan, pakaian dlsb.[3]
4.         Pembagian Hukum Benda
Hukum benda diatur dalam buku BW (Burgerlijk Wetboek) II KUH Perdata. Jumlah pasal yang mengatur tentang hukum benda sebanyak 733 pasal. Dimulai dari pasal 499 KUH perdata sampai dengan pasal 1232 KUH Perdata dan terdiri atas 21 bab. Masing-masing bab dibagi dalam beberapa bagian. Hal-hal yang diatur dalam hukum benda antara lain:
1.         kebendaan dan cara membeda-bedakannya (pasal 499 KUH perdata- pasal 528 KUH perdata). Hal- hal yang diatur meliputi: (1) kebendaan pada umumnya, (2) cara membedabedakan kebendaan ,(3) benda tidak bergerak,(4) benda bergerak,dan(5) benda dalam hubungannya dengan mereka yang menguasinya.
2.         Bezit (Pasal 529 KUH Perdata sampai Pasal 568 KUH Perdata). Hal-hal yang diatur dalam ketentuan ini meliputi: (1) sifat bezit dan barang yang dapat dikuasai dengan bezit, (2) cara memperoleh bezit, dipertahankan dan berakhirnya bezit, (3) hak-hak yang timbul karena bezit.
3.         Hak Milik (Pasal 570 KUH Perdata sampai dengan Pasal 624 KUH Perdata). Hal-hal yang diatur dalam hak milik meliputi: (1) ketentuan umum, (2) cara memperoleh hak milik.
4.         Hak dan Kewajiban antara pemilik dan tetangga (Pasal 625 KUH Perdata sampai Pasal 672 KUH Perdata).
5.         Kerja Rodi (Pasal 673 KUH Perdata). Ketentuan tentang kerja rodi sudah tidak berlaku lagi saat ini karena kerja rodi ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan kewajiban asasi.
6.         Pengabdian Pekarangan (Pasal 674 KUH Perdata sampai Pasal 710 KUH Perdata). Hal-hal yang diatur dalam pasal ini meliputi: (1) sifat dan jenis pengabdian pekarangan, (2) pengabdian pekarangan dilahirkan, (3) pengabdian pekarangan berakhir.
7.         Hak Numpang Karang (Pasal 711 KUH Perdata sampai 719 KUH Perdata).
8.         Hak Usaha (erfpacht) (Pasal 720 KUH Perdata sampai dengan Pasal 736 KUH Perdata).
9.         Bunga Tanah dan Hasil Sepersepuluh (Pasal 737 KUH Perdata sampai Pasal 755 KUH Perdata).[4]
B.     Hak Kebendaan
Perbedaan antara hak kebendaan yang diatur dalam Buku II BWI dengan hak perorangan yang diatur dalam Buku III BWI adalah sebagai berikut:
a.    Hak kebendaan bersifat mutlak (absolut), karena berlaku terhadap siapa saja, dan orang lain harus menghormati hak tersebut, sedangkan hak perorangan berlaku secara nisbi (relatif), karena hanya melibatkan orang / pihak tertentu saja, yakni yang ada dalam suatu perjanjian saja.
b.    Hak kebendaan berlangsung lama, bisa jadi selama seseorang masih hidup, atau bahkan bisa berlanjut setelah diwariskan kepada ahli warisnya, sedangkan hukum perorangan berlangsung relatif lebih singkat, yakni sebatas pelaksanaan perjanjian telah selesai dilakukan.
c.    Hak kebendaan terbatas pada apa yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku, tidak boleh mengarang / menciptakan sendiri hak yang llainnya, sedangkan dalam hak perorangan, lingkungannya amat luas, apa saja dapat dijadikan obyek perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Oleh karena itu sering dikatakan hukum kebendaan itu bersifat tertutup, sedangkan hukum perorangan bersifat terbuka.[5]
Hak Kebendaan dapat digolongkan menjadi dua yaitu hak kebendaan yang memberi kenikmatan dan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan.
1.    Hak Kebendaan yang memberi kenikmatan
a.    Bezit
Secara harfiah berarti Penguasaan. Maksudnya adalah ‘ barang siapa menguasai suatu barang, maka dia dianggap sebagai pemiliknya ’. Menurut Ps. 529 BWI, bezit adalah keadaan seseorang yang menguasai suatu benda, baik dengan diri sendiri maupun melalui perantaraan orang lain, dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki benda itu.
Contohnya, seseorang yang menerima warisan dianggap sebagai pemilik barang tersebut, demikian pula seseorang yang menang pada suatu lelang barang. Jadi terdapat alas hak yang sah.
b.    Hak Milik (Hak Eigendom)
Pengertian hak milik disebutkan dalam Ps. 570 BWI yang menyatakan bahwa hak milik adalah hak untuk menikmati sepenuhnya kegunaan suatu benda dan untuk berbuat sebebas-bebasnya terhadap benda itu asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh sesuatu kekuasaan yang berwenang yang menetapkannya dan tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, dengan tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak itu demi kepeningan umum berdasarkan ketentuan perundangan dengan pembayaran ganti rugi.
c.    Hak Hak Lainnya
1)   Hak Memungut Hasil (VRUCHTGEBRUIK)
Hak memungut hasil adalah hak untuk memungut hasil dari benda orang lain, seolah-olah benda itu miliknya sendiri, dengan kewajiban bahwa dirinya harus menjaga benda tersebut tetap dalam keadaan seperti semula (Ps. 756 BWI).
2)   Hak Pakai dan Hak Mendiami
Di dalam Ps. 818 BWI, hak pakai sebetulnya sama dengan hak mendiami, namun apabila hak ini menyangkut rumah kediaman maka dinamakan hak mendiami.
3)   Erfdienstbaarheid
Erfdienstbaarheid adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik dari pekarangan A harus mengizinkan orang-orang yang tinggal di pekarangan B setiap waktu melalui pekarangan A atau air yang dibuang pekarangan B harus dialirkan melalui pekarangan A.
4)   Hak opstal, yaitu suatu hak untuk mendirikan dan menguasai bangunan atau tanaman di atas tanah milik orang lain (Ps. 711 BWI).
5)   Hak Erfpacht, yaitu suatu hak kebendaan untuk memungut hasil seluas-luasnya dalam jangka waktu yang lama atas bidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun (Ps. 720 BWI).[6]
2.    Hak Kebendaan yang Bersifat Memberi Jaminan
Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan selalu bertumpu atas benda orang lain, baik benda bergerak maupun benda tak bergerak. Jika benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda bergerak maka disebut hak gadai (pandrecht), sedangkan benda yang menjadi obyek jaminan adalah benda tidak bergerak maka hak kebendaannya adalah hipotik.
Kreiditur yang mempunyai hak gadai dan atau hipotik mempunyai kedudukan preferens yaitu hak untuk didahulukan dalam pemenuhan hutangnya dari kreditur-kreditur yang lainnya (Ps. 1133 BWI).
1)   Gadai (Pandrecht)
Gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak yang diberikan debitur kepadanya sebagai jaminan pelunasan pembayaran dan memberikan hak kepada kreditur untuk mendapat pembayaran lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda tersebut (Ps. 1150 BWI).
Gadai adalah tambahan atau buntut dari suatu perjanjian pokok, yaitu perjanjian pinjam meminjam uang, dengan tujuan agar kreditur jangan sampai dirugikan apabila debitur lalai membayar kembali uang pinjaman berikut bunganya.
2)   Hipotik
Menurut Ps. 1162 BWI yang dimaksud dengan hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak (kepunyaan orang lain), untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
Seperti halnya tujuan gadai, pengertian di atas menunjukkan bahwa tujuan hipotik adalah juga untuk memberi jaminan kepada kreditur tentang kepastian pembayaran pelunasan atas uang yang dipinjam debitur sedemikian rupa, bahwa apabila debitur wanprestasi maka benda-benda yang dibebani hipotik dapat dijual / dilelang dan pendapatan penjualan tersebut dipergunakan untuk membayar hutang yang dijamin dengan hipotik, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.
3)   Credietverband
Credietverband merupakan lembaga jaminan atas hak kebendaan (diatur melalui Koninklijk Besluit Nomor 50 tanggal 6 Juni 1908 jo Stb. 1938 No.373, yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1910) untuk memenuhi kebutuhan hukum orang-orang pribumi untuk meminjam uang kepada kreditur namun karena mereka tunduk pada hukum adat, sehingga jaminan yang mereka berikan tidak dapat berupa hipotik.
4)   Fidusia
Fidusia berarti Kepercayaan, sehingga dapat diartikan bahwa fidusia merupakan lembaga jaminan atas dasar kepercayaan, tanpa harus menyerahkan fisik suatu benda yang dijaminkan. Syaratnya harus ada perjanjian peralihan hak. Fidusia yaitu suatu pemindahan hak milik dengan perjanjian bahwa benda akan dikembalikan apabila si berhutang sudah membayar lunas hutang dan bunganya. Selama hutang belum dibayar kreditur menjadi pemilik benda yang dijaminkan itu. Sebagai pemilik, ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu kepada debitur sehingga orang yang berhutang ini tetap menguasai bendanya.[7]








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.         Zakenrecht (hukum benda) adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara subjek hukum dengan benda dan hak kebendaan.
2.         Hak Kebendaan dapat digolongkan menjadi dua yaitu hak kebendaan yang memberi kenikmatan (misalnya Bezit ; Hak Milik /eigendom; Hak Memungut Hasil; Hak Pakai) dan hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (misalnya Gadai, Hipotik).
3.         Terdapat beberapa batasan tentang benda dipandang dari sifat / karakternya, seperti benda berwujud / tidak berwujud, benda habis / tidak habis dibagi, benda bergerak / tidak bergerak, benda habis / tidak habis terpakai, benda yang sudah / akan ada dsb.
B.       Saran
Selanjutnya saran dan kritik yang produktif sangat kami harapkan dalam memperbaiki eksistensi uraian tentang aliran kalam ini. Mudah-mudahan kita selalu dalam naungan-Nya.




[1] Salim HS, Hukum Perdata Tertulis (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 89
[2] Ibid. Hal 90
[3] http://shootjustice.blogspot.com/2009/02/hukum-benda.html
[4] Salim HS, Op.Cit.Hal. 92
[5] http://shootjustice.blogspot.com/2009/02/hukum-benda.html
[6] Ibid.
[7] Ibid.